Ruang ganti pakaian di Stadion St. Jakob Park, markas Basel FC, tak ubahnya seperti kuburan. Malam itu, Rabu lalu, Manchester United gugur digusur klub asal Swiss itu.
Semua yang ada di sana, menundukkan kepala dengan wajah yang pucat dibekap kelelahan dan kesedihan. “Ini adalah kesedihan yang kedua kalinya yang kami rasakan dalam setahun ini,” kata Nani, winger asal Portugal.
Tak ada yang menyangka kalau Red Devils kalah dan tersingkir dari persaingan Liga Champions. Banyak orang yang menganggap kekalahan itu karena mereka menganggap enteng lawan. Nani membantah soal itu, “Enggak kok, kami selalu diajarkan untuk selalu menghormati lawan,” katanya.
Yang jelas, kekalahan itu membuat para pemain seperti tengah berada di neraka yang paling jahanam. “Bayangkan. Mei lalu, kami gagal karena dikalahkan Barcelona, sekarang malah tersingkir lebih awal,” kata Nani. Di sudut ruang ganti dia pun menangis sesengukan persis seperti anak-anak yang ditinggal ibu ke pasar.
Masih juga cerita di ruang ganti. Seperti halnya Nani, pemain Chelsea Didier Drogba juga pernah mengalami hal yang sama. Dalam buku Mourinho: Secret of His Success, saat Abramovich memecat pelatih Portugal itu sebagian besar pemain merasa kehilangan ayah, kakak, dan juga teman baik yang mereka hormati.
Saat mengabarkan dirinya dipecat itulah, Didier Drogba menangis sesunggukan. “Seperti anak kecil,” kata seorang pemain yang dikutip dalam buku itu. Sangat emosional memang. Namun bisa dimaklumi, Drogba adalah pemain yang langsung dibeli Mou saat dia menangani Chelsea.
Ruang ganti memang menjadi tempat yang paling aman. Di sana para pemain bisa bertengkar, berpesta, dihardik pelatih, bahkan juga menangis seperti halnya Nani dan Drogba. Di ruangan ini, laki-laki bisa bebas meneteskan air matanya sesedih hatinya.
Namun sejatinya, menangis juga milik lelaki. Bila Drogba dan Nani beruntung bisa mendapatkan lokasi yang nyaman untuk menumpahkan kesedihannya, berbeda dengan John Terry, Diego Maradona, atau Paul Gascoigne. Tiga lelaki dengan perangai keras ternyata luluh bahkan akhirnya menangis.
Di Italia, pada Piala Dunia 1990, Diego Maradona menangis layaknya anak kecil. Wajahnya kuyu, berkali-kali dia menarik kaos untuk menyeka air matanya yang mengalir deras. Pemandangan yang jauh berbeda saat dia menggocek bola, memprotes wasit, sampai – sebagai kapten dia dengan gagah berwibawa memimpin rekan-rekannya. Semuanya hilang. Dia menangis sejadi-jadinya. Dia menangis karena Argentina harus menyerah kalah pada Jerman, dengan skor 0-1.
Jerman pula yang membuat Paul Gascoigne, dari tim Three Lions. Dia tidak pernah letih berkeliling lapangan mencari bola, berduel dengan siapa saja. Dia benar-benar singa lapar. Namun saat dikalahkan Jerman di babak semi final dia kehilangan kegagahannya. Saat peluit panjang berbunyi, semuanya berakhir. Dia pun menangis.
John Terry adalah wajah dari seorang pemain sepak bola. Dia tampil sebagai lelaki keras, di dalam dan luar lapangan. Tapi di lapangan hijau, gara-gara sepak bola semuanya hilang. Saat merasa menjadi penyebab kekalahan dalam Piala Champions, 2008, di Moskow, karena gagal mengeksekusi penalti, dia pun tak henti-hentinya menangis.
Sepak bola menelanjangi semuanya. Kekecewaan dan kegembiraan dalam permainan ini bisa melemparkan pemainnya pada sebuah keadaan yang tiada pernah disadarinya. Mereka tidak bisa jaim lagi.
Saat gembira, mereka tak ubahnya seperti anak-anak yang melompat kegirangan. Di saat sedih dan kalah, hatinya meraung-raung. Menangis seperti anak-anak.